Praktek pemberlakuan mekanisme tenaga alih daya
(outsourcing) dalam sistem ketenagakerjaan jelas tidak manusiawi dan
melemahkan keberadaan buruh/pekerja.
Bukan rahasia lagi apabila "mafia ketenagakerjaan" menjadi bisnis bagi
oknum aparat di Dinas Tenaga Kerja dan personalia perusahaan demi
kantong pribadinya, sehingga fungsi pengawasan tenaga kerja menjadi
mandul saat ada pelanggaran atas aturan hukum ketenagakerjaan. Buruh
yang jadi korban mafia ketenagakerjaan saat ini dapat disamakan "praktek
jual beli manusia atau perbudakan modern".
Berdasarkan temuan penelitaan AKATIGA-FSPMI-FES diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
Petama, di 3 provinsi dan 7 kabupaten/kota di Indonesia ditemukan bahwa
sebagian besar buruh (60,7%) berstatus hubungan kerja tidak tetap
(kontrak, outsourcing, percobaan, magang, harian lepas,dan borongan).
Kedua, terjadi pelanggaran terhadap UU no.13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan pasal 66 ayat 1,. OUTSOURCING LANGGAR KONSTITUSI. Pada
tanggal 17 Januari 2012 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan
no.27/PUU-IX/2011 mengenai pasal 59, pasal 65 dan pasal 66 UU RI no.13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Lebih dari 5 bulan konstitusi negara
dilanggar dan negara, khususnya kemenakertrans hanya berdiam diri dan
tidak bisa memberikan perlindungan bagi para buruh out sourching. Lebih
dari 9 tahun pasca diberlakukannya pasal 59,65 dan 66 Undang-undang RI
no 13 tahun 2003, negara tidak berdaya menghadapi kekuatan pemodal yang
berlindung dibalik "mafia ketenagakerjaan" dan pengusaha pun terkesan
mengabaikan putusan MK nomor 27/PUU-IX/2011 yang mengakibatkan nasib
buruh makin tidak jelas.
Karenanya sangat wajar bila buruh harus memperjuangkan nasibnya dengan
caranya sendiri demi nasib diri keluarga dan masa depan bangsa dan
tegaknya konstitusi. Saat negara dan pengawas ketenagakerjaan sudah
'mandul' maka "pengadilan jalanan" adalah jawaban agar nasib buruh bisa
lebih baik dan konstitusi tetap ditegakkan.
Pasca may day 2012 secara terbuka para buruh Bekasi melakukan sweeping
pada perusahaan yang sudah jelas mengabaikan putusan MK nomor
27/PUU-IX/2011 dan demi jelasnya nasib para buruh agar bisa hidup layak
dan berperikemanusiaan. Bukan pekerjaan mudah memang, harus menghadapi
pengusaha nakal dan oknum pengawas yang selalu beralasan klasik
kurangnya jumlah pengawas. Padahal dibalik itu mereka bersekongkol agar
"bisnis mafia ketenagakerjaan" bisa terus berjalan.
Adapun aksi yang dilakukan selama bulan Mei dan Juli 2012 adalah : Aksi
di PT Hero Swalayan pusat, menginap 2 hari dengan tuntutan pekerjakan
517 pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap di PT Hero
Swalayan.Tuntutan para buruh berhasil para pekerja outsoucing diangkat
menjadi pekerja tetap di PT Hero Swalayan.
Aksi di PT STI kawasan Hyundai Bekasi. perusahaan diduduki, menginap,
menyandra manajemen, dengan tuntutan pekerja outsourcing diangkat
menjadi pekerja tetap. tuntutan buruh berhasil.
Aksi di PT Saneng Industrial kawasan delta silicon oleh buruh
FSPMI.pendudukan pabrik, menginap, menyandera managemen, memaksa agar
pekerja out sourcing diangkat menjadi pekerja tetap diperusahaan pemberi
kerja. tuntutan buruh berhasil setelah 2 hari perusahaan diduduki.
Aksi di PT Dharma Precision aksi yang dilakukan oleh kawan2 FKI KSPSI
Bekasi dengan cara yang sama.Tuntutan pekerja outsourcing menjadi
pekerja tetap pun berhasil.
Aksi buruh FSPMI PT Sunstar kawasan MM2100 dg cara yang sama juga
berhasil. Aksi buruh PT Dawee Printing dengan cara yang sama juga
berhasil. Aksi buruh PT Hogy dikawasan MM2100 dengan cara yang sama
juga berhasil.
Aksi buruh PT Deaelim dikawasan Jababeka selama 3 hari berturut2 dengan
solidaritas buruh dari FSPMI,FKI KSPSI,dan FSBJ.pekerja out sourcing pun
diangkat menjadi pekerja tetap dan masih banyak aksi2 lainnya.
Data dan fakta diatas menunjukan bahwa "pengadilan jalanan" bisa jadi
pilihan terbaik saat negara kehilangan perannya tidak bisa menegakkan
konstitusi dan memberikan jaminan kepastian kerja bagi para buruh yang
jadi korban perbudakan modern KSPI menyatakan sikap :
Menuntut Kemenakertrans membuat Permenakertrans baru sampai akhir bulan
Juni 2012, sebagai pengganti kepmen 101/2004 dan kepmen 220/2004, tidak
hanya sekedar surat edaran dirjen PHI dan jamsos.
Mencabut izin penyelenggara outsorcing ilegal dengan turun kelapangan
dan mendesak pemerintah dan DPR RI membuat UU tentang pengawas tenaga
kerja (labor inspector) dan menyiapkan anggaran lewat APBN yang memadai
bagi tersedianya tenaga pengawas yang terlatih, punya integritas dan
punya profesionalisme kerja dalam menegakkan hukum ketenagakerjaan.
Akan terus dilakukan aksi perlawanan outsourcing secara nasional mulai
Juli 2012 diseluruh kawasan Industri di Indonesia bila sampai akhir juni
2012 tidak ada sikap tegas dari negara untuk melindungi para buruh yang
jadi korban perbudakan modern.