Oleh : Ir. H. Said Iqbal ( Presiden FSPMI )
Prakata
Dalam kesempatan ini,
perkenankan penulis menyampaikan beberapa pemikiran tinjauan tentang Reformasi
Hukum Perburuhan yang ada sekarang ini, dengan tetap menjunjung tinggi rasa
hormat terhadap teman-teman SP/SB yang belum menyetujui undang-undang
ketenagakerjaan dan Undang-undang PPHI yang sedang melakukan upaya “judicial
review” .
Sebelum memasuki tanggapan, terlebih dahulu kita harus memahami kondisi hubungan industrial yang ada di Indonesia yaitu :
Sebelum memasuki tanggapan, terlebih dahulu kita harus memahami kondisi hubungan industrial yang ada di Indonesia yaitu :
- Masih dirasakan, belum
adanya rasa keadilan sosial ini diakibatkan kebijakan pemerintah dimasa
lalu yang lebih berorientasi kepada pertumbuhan dan stabilitas tanpa
pencapaian pemerataan ekonomi.
- Masih dirasakannya oleh para
aktivis SP/SB kesulitan untuk mendirikan organisasi pekerja/buruh,
walaupun hal ini sudah dilindungi oleh undang – undang No. 21 tahun 2000,
tetapi kenyataan dilapangan.
- Tingkat kesulitan dari pengusaha
akibat tekanan ekonomi global dan resesi ekonomi, diantaranya sistim
kepabeanan (custom system), aturan perpajakan yang tidak kompetitif (tax
regulation), penegakan hukum yang lemah (law inforement) dan diperparah
dengan penyelundupan yang merajalela.
- Pasar kerja yang tidak
seimbang antara lapangan pekerjaan yang terbatas dan jumlah tenaga kerja
yang berlebih.
Kondisi ini melatari terbangunnya hubungan industrial, dimana masih rendahnya saling kepercayaan antara pekerja / buruh dengan pengusaha dan ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah membangun hubungan industrial.
* Disampaikan dalam
seminar sehari oleh Trade Union Right Centre (TURC), pada tanggal 23 September
2004 di Hotel Mega - Cikini, Jakarta.
Pokok - pokok Pembahasan
:
Dari kondisi ini, pemerintah bersama-sama DPR mencoba membuat aturan main yang baru berkenaan dengan penataan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihannya melalui undang-undang no.13 tahun 2003 dan Undang-undang No.2 Tahun 2004. Beberapa hal yang menjadi sorotan berkenaan dengan membangun hubungan industrial adalah :
Dari kondisi ini, pemerintah bersama-sama DPR mencoba membuat aturan main yang baru berkenaan dengan penataan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihannya melalui undang-undang no.13 tahun 2003 dan Undang-undang No.2 Tahun 2004. Beberapa hal yang menjadi sorotan berkenaan dengan membangun hubungan industrial adalah :
1. Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) dan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan (pemborong).
Dalam undang – undang ini pemborongan yang diperbolehkan adalah pemborongan pekerjaan (sub contraktor) sepanjang memenuhi persyaratan, dan tidak diperbolehkan penggunaan tenaga kerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh untuk melakukan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali kegiatan jasa penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan negara bagi pekerja/buruh agar terhindar dari eksploitasi, yaitu bentuk-bentuk hubungan kerja yang tidak jelas, tidak adanya harapan terhadap kelangsungan pekerjaan (job security) dan tidak jelasnya syarat-syarat kerja, upah, kesejahteraan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang timbul.
Dengan adanya pengaturan pemborongan (out sourcing), maka eksploitasi ini diharapkan dapat dieleminir. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa perusahaan multi nasional melakukan perubahan dengan tidak lagi menggunakan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan pokok atau proses produksi langsung.
Kondisi ini bukan berarti mempersempit lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja, karena pengusaha dapat menggunakan pekerja/buruh kontrak (PKWT) diperusahaannya sepanjang memenuhi persyaratan dan mekanisme prosedur undang-undang.
Tentang adanya multi penafsiran terhadap pengertian jenis dan sifat pekerjaan tertentu, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan diskusi antara SP/SB (atau perwakilan pekerja) ditingkat perusahaan dengan pengusaha terhadap pengertian tersebut, dan juga memperluas topik diskusi tidak hanya sebatas definisi, tetapi juga berkenaan dengan ratio PKWT terhadap PKWTT, tingkat upah dan kesejahteraan PKWT, pembatasan usia kerja bagi PKWT maupun bentuk kompensasi yang diberikan pengusaha terhadap PKWT yang sudah dikontrak dalam kurun waktu tertentu (misal sebagaimana isi UU no.12 tahun 1964 pasal 12). Tetapi di lain pihak pengusaha mendapatkan keleluasaan (flexibility) terhadap penggunaan tenaga kerja dan jam kerja yang dikaitkan dengan kapasitas produksi (domestik maupun eksport) dan jadwal deliveri (khususnya eksport) sepanjang tidak melanggar perundang-undangan.
Dalam undang – undang ini pemborongan yang diperbolehkan adalah pemborongan pekerjaan (sub contraktor) sepanjang memenuhi persyaratan, dan tidak diperbolehkan penggunaan tenaga kerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh untuk melakukan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali kegiatan jasa penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan negara bagi pekerja/buruh agar terhindar dari eksploitasi, yaitu bentuk-bentuk hubungan kerja yang tidak jelas, tidak adanya harapan terhadap kelangsungan pekerjaan (job security) dan tidak jelasnya syarat-syarat kerja, upah, kesejahteraan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang timbul.
Dengan adanya pengaturan pemborongan (out sourcing), maka eksploitasi ini diharapkan dapat dieleminir. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa perusahaan multi nasional melakukan perubahan dengan tidak lagi menggunakan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan pokok atau proses produksi langsung.
Kondisi ini bukan berarti mempersempit lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja, karena pengusaha dapat menggunakan pekerja/buruh kontrak (PKWT) diperusahaannya sepanjang memenuhi persyaratan dan mekanisme prosedur undang-undang.
Tentang adanya multi penafsiran terhadap pengertian jenis dan sifat pekerjaan tertentu, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan diskusi antara SP/SB (atau perwakilan pekerja) ditingkat perusahaan dengan pengusaha terhadap pengertian tersebut, dan juga memperluas topik diskusi tidak hanya sebatas definisi, tetapi juga berkenaan dengan ratio PKWT terhadap PKWTT, tingkat upah dan kesejahteraan PKWT, pembatasan usia kerja bagi PKWT maupun bentuk kompensasi yang diberikan pengusaha terhadap PKWT yang sudah dikontrak dalam kurun waktu tertentu (misal sebagaimana isi UU no.12 tahun 1964 pasal 12). Tetapi di lain pihak pengusaha mendapatkan keleluasaan (flexibility) terhadap penggunaan tenaga kerja dan jam kerja yang dikaitkan dengan kapasitas produksi (domestik maupun eksport) dan jadwal deliveri (khususnya eksport) sepanjang tidak melanggar perundang-undangan.
Persoalan yang terjadi di
lapangan adalah penyimpangan terhadap definisi aplikasi “Outsourcing”,
pemagangan yang diberi upah, dan rasio penggunaan PKWT, yang mengakibatkan
buruh tidak mendapatkan perlindungan dan hubungan kerja yang tidak mempunyai
harapan.
2. Upah minimun
Tingkat upah merupakan salah satu pencerminan dari daya beli (purchase power) dari pekerja / buruh. Bagi pekerja / buruh yang dibutuhkan adalah upah rasional, yaitu upah yang mampu memenuhi tingkat “kebutuhan wajar” dari para pekerja / buruh. Upah yang dinaikan dalam ukuran yang kecil atau tidak naik sama sekali, akan dapat diterima ketika nilai kebutuhan barang / jasa dari para pekerja pun tidak ada kenaikan. Inilah upah rasional.
Undang – undang no.13 tahun 2003 mengamanatkan bahwa merumuskan upah minimum adalah berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang merupakan pengembangan ukuran dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Yang harus dipahami adalah agar sebagai jaring pengaman besaran UMK / UMP sama dengan 100% KHL. Untuk lebih mengembangkan rumusan yang lebih “fairness” adalah mendorong berlakunya Upah Minimum Sektor Industri (UMSK/P) yang bergantung dari kemampuan masing-masing sektor industri, secara sederhana dirumuskan :
a. Menetapkan nilai KHL berdasarkan kebutuhan hidup riil masyarakat oleh Pemerintah dan Akademisi.
b. Merumuskan nilai UMK/UMP yang nilainya 100% KHL, sebagai jaring pengaman upah (safety net wages).
c. Dewan Pengupahan merumuskan UMSK/P yang nilainya lebih besar dari UMK/P atau lebih besar dari KHL sesuai dengan kondisi sektor industri masing-masing.
d. Di tingkat perusahaan dirumuskan secara bipartite besaran upah produktivitas sesuai dengan kemampuan perusahaan masing-masing.
Tingkat upah merupakan salah satu pencerminan dari daya beli (purchase power) dari pekerja / buruh. Bagi pekerja / buruh yang dibutuhkan adalah upah rasional, yaitu upah yang mampu memenuhi tingkat “kebutuhan wajar” dari para pekerja / buruh. Upah yang dinaikan dalam ukuran yang kecil atau tidak naik sama sekali, akan dapat diterima ketika nilai kebutuhan barang / jasa dari para pekerja pun tidak ada kenaikan. Inilah upah rasional.
Undang – undang no.13 tahun 2003 mengamanatkan bahwa merumuskan upah minimum adalah berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang merupakan pengembangan ukuran dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Yang harus dipahami adalah agar sebagai jaring pengaman besaran UMK / UMP sama dengan 100% KHL. Untuk lebih mengembangkan rumusan yang lebih “fairness” adalah mendorong berlakunya Upah Minimum Sektor Industri (UMSK/P) yang bergantung dari kemampuan masing-masing sektor industri, secara sederhana dirumuskan :
a. Menetapkan nilai KHL berdasarkan kebutuhan hidup riil masyarakat oleh Pemerintah dan Akademisi.
b. Merumuskan nilai UMK/UMP yang nilainya 100% KHL, sebagai jaring pengaman upah (safety net wages).
c. Dewan Pengupahan merumuskan UMSK/P yang nilainya lebih besar dari UMK/P atau lebih besar dari KHL sesuai dengan kondisi sektor industri masing-masing.
d. Di tingkat perusahaan dirumuskan secara bipartite besaran upah produktivitas sesuai dengan kemampuan perusahaan masing-masing.
Persoalan yang dihadapi
sekarang ini adalah seluruh SP/SB tidak menjadikan persoalan upah ini menjadi
isu prioritas dan isu bersama, sehingga beberapa tahun belakangan ini Upah
Minimum sangat rendah dan mendorong rasio penggunaan PKWT menjadi besar sekali.
3. PHK dan Pesangon
Negara tetap berkewajiban memberikan perlindungan bagi pekerja / buruh agar tidak kehilangan pekerjaannya, maka lembaga perizinan yang harus dilalui oleh pengusaha untuk melakukan PHK adalah masih relevan dan sebuah keniscayaan. Tetapi bukan berarti menampik pekerja / buruh yang bersalah (melanggar UU, PK, PP ataupun PKB) tidak dapat di PHK, mereka dapat di PHK melalui prosedur penyelesaian perselisihan sesuai perundang-undangan. Dan pekerja/buruh yang mengundurkan diri sampai dengan jabatan tertentu, masih berhak untuk mendapatkan uang pisah. Pengalaman penulis di beberapa perusahaan multi nasional, pemberian uang pisah yang menarik (tetapi bukan karena tekanan) akan direspon dengan sukarela oleh pekerja/buruh yang tidak merasa “harmonis lagi” di perusahaan, misalnya pekerja wanita yang ingin mengurus anaknya, pekerja yang ingin berwiraswasta sendiri, pekerja yang sudah tidak produktif lagi, maupun pekerja yang tidak sesuai dengan keinginannya. Hal ini akan membuka peluang rotasi perekrutan pekerja yang lebih muda. Nilai pesangon yang dirasakan berat dapat disimultankan dengan merumuskan sistem :
a. Mengadakan dana pensiun di perusahaan yang diperhitungkan dengan nilai pesangon sebagaiman undang – undang no.13 tahun 2003.
b. Meningkatkan iuran bersama (co premium) JHT Jamsostek, yang dapat dipertimbangkan sebagai sinergi nilai pesangon yang dibayarkan.
Negara tetap berkewajiban memberikan perlindungan bagi pekerja / buruh agar tidak kehilangan pekerjaannya, maka lembaga perizinan yang harus dilalui oleh pengusaha untuk melakukan PHK adalah masih relevan dan sebuah keniscayaan. Tetapi bukan berarti menampik pekerja / buruh yang bersalah (melanggar UU, PK, PP ataupun PKB) tidak dapat di PHK, mereka dapat di PHK melalui prosedur penyelesaian perselisihan sesuai perundang-undangan. Dan pekerja/buruh yang mengundurkan diri sampai dengan jabatan tertentu, masih berhak untuk mendapatkan uang pisah. Pengalaman penulis di beberapa perusahaan multi nasional, pemberian uang pisah yang menarik (tetapi bukan karena tekanan) akan direspon dengan sukarela oleh pekerja/buruh yang tidak merasa “harmonis lagi” di perusahaan, misalnya pekerja wanita yang ingin mengurus anaknya, pekerja yang ingin berwiraswasta sendiri, pekerja yang sudah tidak produktif lagi, maupun pekerja yang tidak sesuai dengan keinginannya. Hal ini akan membuka peluang rotasi perekrutan pekerja yang lebih muda. Nilai pesangon yang dirasakan berat dapat disimultankan dengan merumuskan sistem :
a. Mengadakan dana pensiun di perusahaan yang diperhitungkan dengan nilai pesangon sebagaiman undang – undang no.13 tahun 2003.
b. Meningkatkan iuran bersama (co premium) JHT Jamsostek, yang dapat dipertimbangkan sebagai sinergi nilai pesangon yang dibayarkan.
4. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Menyikapi rencana RUU PPHI, ada dua pendapat yang berkembang, yaitu :
a. Mengamandemen UU No.22 tahun 1957, yaitu kelembagaan P4D / P4P yang ada dilakukan perbaikan, antara lain ; tidak menjadi objek PTUN dan Kasasi MA.
b. Melanjutkan pembahasan RUU PPHI dengan beberapa pertimbangan :
- sebagai lembaga yudikatif, maka lembaga ini tidak lagi menjadi objek PTUN.
- Mempunyai waktu penyelesaian yang lebih cepat dibanding P4D/P4P.
Dari dua pandangan ini, maka pemikiran penulis adalah :
a. Menempatkan lembaga penyelesaian perselisihan industrial tidak lagi menjadi objek perkara PTUN, karena akan memakan waktu yang panjang.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan sebagai lembaga yudikatif atau lembaga independent yang dibentuk oleh legislatif.
b. Memperkuat penyelesaian non ligitasi sebagai pilihan utama dan berwibawa (berkeadilan bagi kedua belah pihak) yaitu :
• Pekerja/Buruh dan Pengusaha diberi keleluasaan untuk memilih juru damai (konsiliator/mediator) yang ada.
• Pemerintah memfasilitasi terbentuknya system arbitrasi yang bebas / independent, mandiri, dan berwibawa.
• RUU memberikan ruang dan gerak yang lebih panjang bagi kedua belah pihak untuk terus melakukan upaya perundingan bipartite.
Bilama ditemui salah satu pihak enggan melakukan bipartite maka pemerintah dapat memberikan sanksi administratip.
Pengalaman penulis, ternyata penyelesaian ditingkat bipartite lebih efektif dibandingkan penyelesaian permasalahan ditingkat perselisihan, tetapi ada dua persyaratan yang harus dipenuhi kedua belah pihak yaitu : mengembangkan sikap kerja sama sejajar (patnership equality) dengan menempatkan SP/SB sebagai bagian perusahaan dan bukan subordinasi perusahaan, serta mengembangkan sikap saling percaya (mutual trust) melalui proses dialog dan negosiasi yang dijadwalkan secara berkala dan tertib (baik menghasilkan bentuk PKB maupun kesepakatan bersama).
c. Biaya perkara yang murah dan ditanggung negara serta waktu penyelesaian yang cepat dan wajar.
d. Memberikan ruang keleluasaan bagi kedua belah pihak memilih hakim dan hakim ad hoc untuk menyelesaikan perselisihannya, dimana pemilihan dan penetapan hakim ad hoc dilakukan secara transparan dan melalui uji publik.
e. Kedua belah pihak dan organisasinya dapat secara langsung berperkara di lembaga penyelesaian perselisihan ini.
f. Untuk membangun hubungan industrial yang tenang (industrial peace), maka sebaiknya perselisihan kepentingan diselesaikan dalam sistim mekanisme bipartite dan arbitrase dengan biaya murah.
Lembaga peradilan (ligitasi) hanya digunakan untuk penetapan perselisihan hak dan memutuskan perselisihan PHK.
g. Mengurangi peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan, karena terkadang malah menciptakan “suasana keruh”.
Menyikapi rencana RUU PPHI, ada dua pendapat yang berkembang, yaitu :
a. Mengamandemen UU No.22 tahun 1957, yaitu kelembagaan P4D / P4P yang ada dilakukan perbaikan, antara lain ; tidak menjadi objek PTUN dan Kasasi MA.
b. Melanjutkan pembahasan RUU PPHI dengan beberapa pertimbangan :
- sebagai lembaga yudikatif, maka lembaga ini tidak lagi menjadi objek PTUN.
- Mempunyai waktu penyelesaian yang lebih cepat dibanding P4D/P4P.
Dari dua pandangan ini, maka pemikiran penulis adalah :
a. Menempatkan lembaga penyelesaian perselisihan industrial tidak lagi menjadi objek perkara PTUN, karena akan memakan waktu yang panjang.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan sebagai lembaga yudikatif atau lembaga independent yang dibentuk oleh legislatif.
b. Memperkuat penyelesaian non ligitasi sebagai pilihan utama dan berwibawa (berkeadilan bagi kedua belah pihak) yaitu :
• Pekerja/Buruh dan Pengusaha diberi keleluasaan untuk memilih juru damai (konsiliator/mediator) yang ada.
• Pemerintah memfasilitasi terbentuknya system arbitrasi yang bebas / independent, mandiri, dan berwibawa.
• RUU memberikan ruang dan gerak yang lebih panjang bagi kedua belah pihak untuk terus melakukan upaya perundingan bipartite.
Bilama ditemui salah satu pihak enggan melakukan bipartite maka pemerintah dapat memberikan sanksi administratip.
Pengalaman penulis, ternyata penyelesaian ditingkat bipartite lebih efektif dibandingkan penyelesaian permasalahan ditingkat perselisihan, tetapi ada dua persyaratan yang harus dipenuhi kedua belah pihak yaitu : mengembangkan sikap kerja sama sejajar (patnership equality) dengan menempatkan SP/SB sebagai bagian perusahaan dan bukan subordinasi perusahaan, serta mengembangkan sikap saling percaya (mutual trust) melalui proses dialog dan negosiasi yang dijadwalkan secara berkala dan tertib (baik menghasilkan bentuk PKB maupun kesepakatan bersama).
c. Biaya perkara yang murah dan ditanggung negara serta waktu penyelesaian yang cepat dan wajar.
d. Memberikan ruang keleluasaan bagi kedua belah pihak memilih hakim dan hakim ad hoc untuk menyelesaikan perselisihannya, dimana pemilihan dan penetapan hakim ad hoc dilakukan secara transparan dan melalui uji publik.
e. Kedua belah pihak dan organisasinya dapat secara langsung berperkara di lembaga penyelesaian perselisihan ini.
f. Untuk membangun hubungan industrial yang tenang (industrial peace), maka sebaiknya perselisihan kepentingan diselesaikan dalam sistim mekanisme bipartite dan arbitrase dengan biaya murah.
Lembaga peradilan (ligitasi) hanya digunakan untuk penetapan perselisihan hak dan memutuskan perselisihan PHK.
g. Mengurangi peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan, karena terkadang malah menciptakan “suasana keruh”.
Kesimpulan :
1. Dimungkinkan untuk
mengamandemen UU No. 13 tahun 2003 sesuai dengan usulan-usulan dari
pekerja/buruh dan pengusaha terhadap pasal-pasal yang dianggap “rigid”.
2. Menata kembali lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, murah dan berkeadilan, yaitu melalui pemindahan hukum acara di undang-undang No. 22 tahun 1957 dan undang – undang No.12 tahun 1964 ditempatkan sebagai lembanga yudikatif atau lembaga independen yang dibentuk DPR.
3. Mengedepankan penyelesaian perselisihan hubungan industrial memalui mekanisme bipartite yang “patneship equality” dan “mutual trust”.
Dan bila terpaksa menemui jalan buntu sedapat mungkin menyelesaikannya cukup dijalur non ligitasi yang independen, murah dan berkeadilan.
2. Menata kembali lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, murah dan berkeadilan, yaitu melalui pemindahan hukum acara di undang-undang No. 22 tahun 1957 dan undang – undang No.12 tahun 1964 ditempatkan sebagai lembanga yudikatif atau lembaga independen yang dibentuk DPR.
3. Mengedepankan penyelesaian perselisihan hubungan industrial memalui mekanisme bipartite yang “patneship equality” dan “mutual trust”.
Dan bila terpaksa menemui jalan buntu sedapat mungkin menyelesaikannya cukup dijalur non ligitasi yang independen, murah dan berkeadilan.